Ketika Regulator Menjadi Operator: Menyoal Kepemilikan Saham Pemerintah dalam Industri Pengelolaan Limbah B3 – Studi Kasus Indonesia dan Perbandingan dengan China

Oleh: PT Centra Rekayasa Enviro

Industri pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) merupakan sektor strategis yang menyangkut kelestarian lingkungan, kesehatan publik, dan keamanan nasional. Di Indonesia, salah satu aktor utama dalam industri ini adalah PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI), perusahaan dengan kapasitas pengolahan ±340.000 ton limbah B3 per tahun dan lebih dari 1.000 klien industri.

Yang menarik, 5% saham PPLI dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, sementara sisanya dimiliki oleh perusahaan Jepang, DOWA Holdings. Fakta ini menimbulkan satu pertanyaan mendasar: Apakah tepat jika regulator juga memiliki kepentingan di operator komersial yang berada di sektor yang sama?

Artikel ini mengulas persoalan tersebut secara mendalam, dengan membandingkannya terhadap praktik di Tiongkok (China)—negara dengan pendekatan berbeda dalam hal kepemilikan dan pengendalian industri limbah strategis.


Model Indonesia: Saham Minoritas, Tapi Potensi Konflik Tetap Ada

PT PPLI sebagai pemain dominan di sektor pengelolaan limbah B3 di Indonesia menghadirkan ironi: regulator (KLHK) yang seharusnya menjaga netralitas dan mengatur pasar, memiliki saham minoritas dalam salah satu operator utamanya.

Walau hanya 5%, kepemilikan ini menimbulkan potensi konflik kepentingan:

  • Apakah proses perizinan, audit, dan inspeksi dilakukan dengan standar yang sama?
  • Apakah pelaku usaha swasta murni memperoleh level playing field yang sejajar?
  • Apakah ada pengaruh kebijakan publik yang condong ke kepentingan komersial?

Dalam praktik tata kelola modern, pemisahan peran regulator dan operator adalah prinsip utama good governance. Ketika fungsi tersebut bercampur, integritas sistem pengelolaan bisa dipertanyakan.


Model China: Kepemilikan Negara yang Dominan dan Terstruktur

Berbeda dari Indonesia, Tiongkok menempatkan sektor pengelolaan limbah B3 sebagai bagian dari kepentingan strategis negara, dengan pendekatan yang sangat berbeda:

  • Negara tidak hanya dibolehkan memiliki saham, tapi secara implisit diharapkan atau diarahkan untuk memiliki kepemilikan mayoritas (≥51%) di sektor-sektor strategis seperti pengelolaan limbah berbahaya.
  • Banyak perusahaan pengelola limbah di China berstatus State-Owned Enterprise (SOE) atau bagian dari grup milik pemerintah pusat/daerah.
  • Dalam model mixed-ownership reform, entitas swasta atau asing boleh masuk sebagai investor minoritas (≤49%), namun negara tetap menjadi pemegang saham pengendali atau mayoritas.

Tujuan utama dari model ini adalah pengendalian nasional, keamanan lingkungan, dan stabilitas sosial, bukan semata efisiensi atau laba finansial.


Perbandingan: Indonesia vs China dalam Kepemilikan Saham

AspekIndonesia (PPLI)China (SOE & Mixed Ownership)
Kepemilikan Negara5% (minoritas, tanpa pengendalian)30%–100% (umumnya mayoritas untuk sektor strategis)
Status OperatorSwasta mayoritasSOE atau entitas dengan kendali negara
Regulasi dan EksekusiRegulator = Pemilik minorRegulator & operator dikelola dalam satu sistem
Peran SwastaTerbuka untuk swasta lokal/asingTerbatas sebagai mitra minoritas
Motif UtamaInvestasi & efisiensi layananKontrol nasional & perlindungan lingkungan

Implikasi untuk Indonesia

Indonesia tidak perlu menyalin sistem China secara mentah, tetapi ada pelajaran penting yang dapat diadopsi secara kontekstual:

  1. Pemisahan Tegas Fungsi Regulator dan Operator
    Jika pemerintah masih memiliki saham operator limbah, maka peran regulasi sebaiknya diserahkan pada lembaga independen, atau saham tersebut dialihkan ke BUMN/BUMD khusus yang tidak menyusun regulasi.
  2. Keterbukaan Informasi Kepemilikan
    Masyarakat dan pelaku industri berhak tahu siapa pemegang saham dalam operator limbah strategis dan bagaimana keterkaitan tersebut mempengaruhi kebijakan publik.
  3. Pengembangan BUMN/BUMD Lingkungan Hidup
    Jika memang negara ingin tetap terlibat, lebih baik membentuk BUMN/BUMD baru dengan fokus lingkungan (Environmental SOE), bukan menjadi pemilik minoritas pasif di perusahaan swasta.
  4. Kolaborasi Model Mixed-Ownership
    Model kemitraan seperti di China bisa diadopsi secara selektif: negara memegang minimal 30% saham pada proyek strategis, dan selebihnya dibuka untuk investasi swasta nasional dan asing dengan prinsip kesetaraan.

Penutup: Jalan Tengah untuk Transparansi dan Keadilan

Model Tiongkok menunjukkan bahwa kepemilikan negara bisa dijalankan secara tegas dan terstruktur, namun tetap menjaga arah kebijakan strategis nasional. Sementara model Indonesia saat ini justru menciptakan ambiguitas—di mana negara berada di dua kaki sekaligus: sebagai wasit dan pemain.

PT Centra Rekayasa Enviro menilai sudah saatnya Indonesia menata ulang peta pengelolaan limbah B3 dengan prinsip:

  • Pemisahan peran yang tegas
  • Regulasi yang netral
  • Pasar yang terbuka namun berkeadilan

Dengan itu, kita dapat membangun industri pengelolaan limbah B3 yang kuat, transparan, dan mandiri—demi masa depan lingkungan Indonesia yang berkelanjutan.


PT Centra Rekayasa Enviro – Solusi Rekayasa Lingkungan untuk Negeri

📍 Jl. Taman Mekar Agung, Ruko No. 42, Istana Mekar Wangi, Bandung
📞 0811-110-3650
📧 info@cr-enviro.com
🌐 www.cr-enviro.com