
Pemerintah mengumumkan rencana percepatan waste-to-energy (WtE) di 5 kota prioritas (dari total 33 titik), dengan kapasitas minimal 1.000 ton/hari per lokasi. Disiapkan juga aturan turunan dan harga listrik standar 20 sen/kWh untuk proyek WtE.
Pertanyaan publik langsung muncul:
- Apakah pengelolaan sampah “disubsidi listrik”?
- Apakah kebijakan ini akan menaikkan rasio biaya sampah:listrik agar layanan kita semakin andal?
- Bagaimana nasib TPST dan upaya desentralisasi yang sedang berjalan?
Di artikel ini, PT CRE mengurai mekanismenya, menaruh angka-angka kunci di atas meja, dan memberi peta jalan yang realistis.
Singkatnya (tiga poin kunci)
- Pendapatan listrik WtE bisa menjadi penyangga biaya (semacam “subsidi silang”) yang menurunkan kebutuhan tipping fee—bukan berarti biaya sampah diambil dari listrik rumah tangga secara langsung.
- Indonesia perlu menaikkan rasio biaya sampah:listrik secara bertahap (target 5–12% untuk rumah tangga menengah, dengan lifeline untuk yang rentan) agar gap biaya riil tertutup dan layanan bisa naik kelas.
- TPST desentral jangan dimatikan—justru dirangkai dengan WtE dalam arsitektur hub-and-spoke: TPST memilah/kompos/MRF/RDF di hulu, WtE menangani residu di hilir.
Apakah “sampah disubsidi listrik”?

Tidak langsung. Yang terjadi adalah pendapatan dari jual listrik WtE (dengan harga kontrak/FiT, misal 20¢/kWh) ikut membiayai operasi pengolahan sampah. Skemanya umumnya kombinasi:
- Tipping fee dari pemerintah daerah (PAD/APBD + retribusi).
- Pendapatan listrik/panas dari WtE (kontrak ke PLN).
- Pendapatan lain: penjualan logam/abu, EPR (tanggung jawab produsen), kredit karbon.
Selisih antara biaya penuh WtE dan pendapatan listrik menentukan besaran tipping fee yang masih perlu dibayar kota. Di sinilah kejujuran data & kinerja menentukan: kalau performa energi dan operasi tercapai, kebutuhan tipping fee turun; kalau tidak tercapai, tipping fee tetap tinggi.

Simulasi cepat (ilustratif)
- Hasil listrik bersih: 300–650 kWh per ton (tergantung kadar air/LHV & operasi).
- Harga listrik WtE: 20¢/kWh.
Pendapatan listrik per ton:
- 300 kWh → US$60/ton
- 500 kWh → US$100/ton
- 650 kWh → US$130/ton
Jika biaya penuh WtE ≈ US$120/ton:
- skenario 300 kWh → butuh tipping fee ~US$60/ton
- skenario 500 kWh → ~US$20/ton
- skenario 650 kWh → ~US$0/ton (surplus kecil untuk praproses)
Intinya: tarif premium membantu asal performa teknis tercapai dan diaudit.
Mengapa rasio sampah:listrik perlu naik?
Rasio = (iuran/retribusi sampah bulanan) ÷ (tagihan listrik bulanan).
Hari ini, banyak kota Indonesia masih di kisaran ~1–8%; layanan WtE/MBT/RDF yang andal mustahil dibiayai dengan angka serendah itu bila APBD tidak terus-menerus menutup kekurangan. Negara maju umumnya berada di ~18–20% (Jerman) dan bahkan >30% di beberapa kota AS—sejalan dengan layanan yang lengkap dan disiplin lingkungan yang tinggi.
Rekomendasi PT CRE:
- Target 5–12% untuk rumah tangga menengah, lifeline untuk 450–900 VA, dan insentif pemilahan (diskon/bebas retribusi) bagi rumah tangga yang memilah dengan benar.
- Rasio ini dijadikan acuan saat menyusun tipping fee—agar pembagian beban antara retribusi (warga), pendapatan listrik, APBD, dan EPR menjadi terukur & adil.
Di mana posisi kota-kota Indonesia hari ini?
Asumsi listrik: 200 kWh/bulan → sekitar Rp288.940.
Tabel – Perbandingan ringkas (tanpa Singapura)
Wilayah/Kota | Biaya sampah/bln (representatif) | Tagihan listrik/bln | Rasio |
---|---|---|---|
Los Angeles (2025) | US$55,95 | US$144 | 38,9% |
San José (2025) | US$54,51 | US$144 | 37,9% |
Jerman (rata-rata) | €21,5 | €117 | 18,4% |
Jakarta (rencana 2025; R1 1.300–2.200 VA) | Rp30.000 | Rp288.940 | 10,38% |
Surabaya (RT-4; via PDAM) | Rp11.000 | Rp288.940 | 3,81% |
Bandung (R1 1.300–2.200 VA) | Rp20.000 | Rp288.940 | 6,92% |
Kota Bogor (kelas jalan biasa) | Rp20.000 | Rp288.940 | 6,92% |
Catatan: Jakarta belum memungut retribusi rumah tangga pada 2023–2024; tabel menggunakan tarif rencana 2025.
Apakah WtE akan “mematikan” TPST desentral?
Tidak—justru harus disinergikan. PT CRE merekomendasikan arsitektur hub-and-spoke:
- Spoke (TPST/Bank Sampah/Komposter):
Pemilahan di sumber, kompos/biodigester untuk organik (porsi terbesar), MRF untuk kertas-plastik-logam, dan RDF ringan (kering, seragam). - Hub (Fasilitas kota/klaster):
WtE/co-firing untuk residu yang tidak ekonomis didaur ulang; sanitary landfill hanya untuk abu & residu akhir.
Manfaat langsung:
- Sampah ke WtE lebih kering → kWh/ton naik, tipping fee turun.
- Biaya angkut menurun: “jarak jauh” hanya residu/RDF.
- Ekonomi sirkular terjaga: material bernilai tinggal di hulu.
“Rambu-rambu” agar proyek WtE benar-benar menyehatkan sistem
- Transparansi biaya & KPI. Rilis peta biaya (angkut, praproses, energi, landfill) dan dashboard bulanan: frekuensi angkut, uptime, emisi, keluhan.
- Kontrak berbasis kinerja. No performance, no pay—tarif listrik premium & tipping fee terikat KPI (LHV, kWh/ton, emisi, ketersediaan).
- Sinkron retribusi & iuran RT. Hindari double charge; tetapkan standar layanan yang dibiayai warga.
- Instrumen ekonomi adil. Lifeline untuk pelanggan kecil; pay-as-you-throw bertahap untuk kawasan siap; EPR untuk bantu biaya MRF/low-value plastic.
- Standar antarmuka TPST→WtE. Spesifikasi kelembaban/LHV & ukuran RDF, plus insentif kualitas ke TPST yang memasok feedstock terbaik.
Roadmap implementasi (realistis & terukur)
0–90 hari
- Posko operasi harian, stop open dumping baru, route reset, timbang masuk/keluar & e-ticketing.
3–12 bulan
- Tetapkan standar layanan per kelurahan; pilot pemilahan organik (komposter komunal/biodigester); integrasi penagihan (PDAM/QRIS); uji PAYT ringan.
1–5 tahun
- Terapkan pretreatment mandate (MBT/RDF minimal); bangun hub WtE di kota padat; gunakan PPP berbasis kinerja dengan pembagian risiko yang wajar.
Penutup
Indonesia perlu menaikkan rasio biaya sampah:listrik secara bertahap dan menjadikannya acuan ketika menetapkan tipping fee. Tujuannya bukan membebani warga, tetapi menutup biaya riil sekaligus mengunci mutu layanan.
Kebijakan WtE dengan harga listrik 20¢/kWh bisa menjadi penyangga biaya—asalkan diimplementasikan secara jujur, profesional, dan transparan, bersamaan dengan penguatan TPST di hulu.
Dengan paket kebijakan ini, Indonesia dapat mengakhiri open dumping, menekan emisi & kebakaran TPA, serta memberikan layanan yang tepat waktu, bersih, dan dapat dipercaya—standar yang sudah lama dinikmati kota-kota di negara maju.